Jumat, 02 April 2010

“Neng”

“Neng”
Oleh Redywan James Purba

“Neng, maaf saya lupa kemarin, nanti saya anterin saja ke atas yah.” Tiba-tiba saja kalimat itu keluar dan aku mendengarkannya. Tapi, aku berusaha tak menoleh dan tak berespon. Karena kata itu sangat familiar bagiku. Aku berusaha melihat, tapi tak mungkin itu untuk ku. “Ahh, mungkin aku salah dengar kali yah..” pikirku dalam hati. Eh tunggu dulu, hanya aku orang yang ada di ruangan meja makan itu. Berarti kalimat itu ditujukan pada ku. Keesokan harinya dan sampai sekarang, itulah panggilan untuk ku oleh si bibi yang biasa kami panggil “teteh”. Tak hanya untuk ku, tapi untuk beberapa teman yang tinggal serumah dengan ku. Tapi tahu kah kalian bahwa semua yang tinggal di rumah adalah laki-laki. Aku berani jamin bahwa kami adalah laki-laki. Laki-laki sejati tentunya. “Hah, ya sudahlah”, gumam ku menenangkan pikiran ku yang terasa aneh.
Neng adalah kata dari bahasa Sunda untuk menyapa atau panggilan untuk wanita yang lebih muda dari usia kita. Tidak hanya untuk yang lebih muda, ingat! Kata itu diucapkan untuk seorang wanita. Penggunaan kata ini semakin umum digunakan kepada perempuan kecil, seperti tak berdaya, dan membutuhkan perlindungan. Pengertian ini semakin mengusik pikiran ku. Hah? Jika begitu kenapa aku dipanggil seperti itu? Aku tidak terima!
Lama-kelamaan, ucapan itu menjadi sangat biasa dan terdengar asyik juga. Walaupun aku tak bisa menyembunyikan tawa ku saat kata itu ditujukan bagiku. Bahkan mungkin ini adalah tahun ketiga aku mengenal teteh yang bekerja sehari-hari di rumah kami. Selama itu pula, seenaknya saja dia memanggil ku dengan kata “Neng”. Ahh, semakin aneh saja. Tapi mau gimana lagi. Aku tak berani untuk meminta si teteh untuk tidak memanggil ku seperti itu. Biarkan sajalah.
Lalu, aku terpikir. Kenapa aku tidak mau dipanggil seperti itu yah? Apakah mungkin karena aku terlalu mengerti makna kata itu? Bisa saja! Atau memang hanya risih dan aneh? Tapi seperti tak dapat kupungkiri, aku sedikit tidak senang saja.
Lalu waktu mengizinkan ku tuk hadir bersama mereka. Desa warna sari, Pangalengan Kabupaten Bandung Selatan. Di desa itu aku banyak menemukan orang-orang yang selalu di panggil semestinya dengan kata “Neng” itu. Yah mereka ada di desa itu. Mereka lucu-lucu, cantik, imut, dan juga lugu. Mereka tak seperti memikirkan sesuatu. Apa yang terjadi nanti, besok dan lusa. Ku lihat wajah polos dan penuh senyum setiap minggu di desa itu. Mungkinkah aku seperti itu? Hmmm… ingin rasanya. Kau tahu? Indahnya hidup seperti itu! Lalu aku berpikir. Aku ingin tetap di panggil seperti itu. Untuk mengingatkan ku bahwa ku tak perlu ragu akan hidup ku. Karena ada Dia yang setia mengerjakan yang terbaik untuk ku.
Selamat menikmati hidup yang penuh dengan senyuman yang tak akan pernah ragu akan hidup mu. Sekarang, besok, lusa dan nanti. Untuk ku, untuk mu, untuk kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketika semua yang terlintas tak sempat terucap...

Maka muailah menuliskannya
Mengejar sesuatu yang telah berlalu tak akan membuat kita merasa dapat memperbaiki masa lalu
Tuliskanlah...